Kecanduan Scrolling Tanpa Tujuan: Surga atau Neraka Informasi yang Tak Berujung
Pukul 10 malam. Niatnya cuma mau scroll sebentar sekadar mengecek notifikasi melihat unggahan teman yang baru saja pamer makanan atau barangkali ada berita penting yang wajib diketahui sebelum tidur. Jemari sudah hapal betul gerak refleks mengusap layar ke atas, atas, dan terus ke atas. Satu jam berlalu. Dua jam. Tiga jam. Tanpa sadar jam dinding sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Bagi sebagian di antara kita ritual ini bahkan bisa kebablasan sampai pukul 03.00 pagi. Mata sudah pedas dan berat, punggung mulai pegal, tapi entah mengapa jempol rasanya punya kesadaran sendiri. Ia tak mau berhenti terus meluncur di atas layar bak peselancar di lautan informasi tak bertepi.
Inilah fenomena "scrolling tanpa tujuan" sebuah ritual modern yang entah mengapa begitu adiktif namun paradoxically juga menjebak. Kita semua tahu ini seringkali buang-buang waktu yang berharga mengorbankan jam tidur demi apa yang seringkali berakhir menjadi tumpukan informasi tak relevan. Namun, tetap saja kita melakukannya. Seolah ada magnet gaib yang menarik mata dan jempol kita memaksa untuk terus mengkonsumsi segala rupa konten: video kucing lucu yang sebenarnya sudah sering muncul di lini masa, tutorial masakan rumit yang sudah bisa dipastikan tidak akan pernah dicoba, rekoemndasi wisata, teori konspirasi terbaru tentang Illuminati dan flat earth, hingga meme receh yang bikin senyum tipis di kegelapan malam.
Pertanyaan besarnya: kenapa? Apa sebenarnya yang membuat kita begitu terpaku pada layar seolah sedang mencari sesuatu yang sangat penting padahal sebenarnya tidak kan? Salah satu dugaannya ini adalah semacam "fear of missing out" (FOMO) yang termanifestasi dalam bentuk paling pasif. Ada kekhawatiran irasional takut ketinggalan tren obrolan besok pagi di kantor atau grup chat, takut tak update dengan kabar terbaru yang sedang viral, atau takut merasa bodoh jika teman-teman membicarakan hal yang baru saja pecah di media sosial. Padahal, seringkali yang kita scroll itu adalah hal-hal yang sama sekali tidak relevan dengan esensi hidup atau tujuan jangka panjang kita. Ini lebih kepada kebutuhan untuk merasa 'terhubung' dengan dunia meskipun koneksi itu superfisial.
Atau jangan-jangan ini adalah cara otak kita mencari dopamine hit instan yang mudah didapatkan. Setiap kali ada konten baru yang muncul, setiap notifikasi berkedip, ada sensasi kecil yang menyenangkan, semacam hadiah instan bagi otak kita. Dan karena konten di dunia digital itu tak ada habisnya hadiah itu pun terus berdatangan menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Kita sejatinya tidak sedang mencari informasi untuk memperkaya diri kita sedang mencari sensasi yang mampu mengisi kekosongan atau kebosanan sesaat. Semacam mesin slot digital di mana setiap putaran (scroll) berpotensi memberikan hadiah kepuasan sekecil apa pun itu.
Platform media sosial dan aplikasi berita memang dirancang sedemikian rupa agar kita betah berlama-lama. Algoritma cerdas mereka selalu tahu apa yang paling mungkin menarik perhatian kita menyajikannya dalam porsi kecil yang mudah dicerna dan yang paling penting tanpa akhir. Fitur "pull to refresh" dan infinite scroll adalah genius sekaligus "jahat". Mereka menghilangkan batas membuat kita terus menggulir tanpa ada titik berhenti yang jelas seperti lorong gelap yang makin dalam digali. Ini bukan lagi sekadar platform komunikasi atau informasi ini sudah jadi "neraka" informasi yang tak berujung menjebak kita dalam lingkaran konsumsi pasif yang menggerogoti waktu tidur, energi, dan tentu saja, produktivitas esok hari.
Ketika alarm berbunyi keesokan harinya dan tubuh terasa remuk redam menolak bangun barulah penyesalan itu datang menghampiri. "Kenapa tadi malam tidak langsung tidur? Kenapa tidak berhenti saja setelah satu jam?" Segala penyesalan itu meluap seolah sumpah serapah pada diri sendiri. Tapi nanti malam, siklus itu akan terulang lagi. Jempol kembali beraksi mata kembali terpaku pada cahaya biru layar dan dini hari kembali menyapa tanpa undangan membawa serta kantung mata yang menghitam. Mungkin sudah saatnya kita menanyakan pada diri sendiri: apa sebenarnya yang kita cari dalam lautan scrolling tanpa tujuan itu? Barangkali kebahagiaan atau ketenangan yang sesungguhnya justru ada di balik layar yang gelap dalam tidur yang nyenyak atau dalam obrolan nyata yang mendalam dengan orang terdekat bukan di ujung jari yang lelah mengusap layar.
Komentar
Posting Komentar