Self-Reward: Sebuah Refleksi Atas Hasrat dan Kebutuhan
Di tengah tuntutan hidup yang kian hari kian berat seolah menjadi keharusan bagi kita untuk memberi penghargaan pada diri sendiri. Sedikit berhasil melewati hari yang panjang di kantor "Self-reward". Berhasil menuntaskan tumpukan pekerjaan "Self-reward". Akhirnya bisa membayar cicilan yang sempat tertunda "Self-reward" lagi. Lama-lama hidup kita ini kok rasanya dipenuhi dengan aktivitas self-reward melulu ya? Pertanyaan krusialnya: kapan ini menjadi cukup dan kapan kita perlu menyadari bahwa ini sudah melewati batas?
Dulu "hadiah untuk diri sendiri" mungkin sesederhana membeli es krim setelah ujian di sekolah atau sepasang sepatu baru setelah menabung berbulan-bulan. Itu pun seringkali harus sembunyi-sembunyi dari orang tua yang mengomel jika uang jajan habis untuk hal yang dianggap kurang penting. Kini? Bentuk self-reward telah berevolusi menjadi liburan mendadak ke destinasi eksotis seperti Bali misalkan, membeli gawai keluaran terbaru, atau bahkan perawatan kecantikan yang biayanya setara dengan DP motor 110-150 cc. Semua ini seringkali dilakukan atas nama: "Aku berhak bahagia setelah melewati segala kesulitan." Sebuah narasi yang klise namun entah mengapa begitu memikat.
Pada dasarnya konsep self-reward ini memiliki niat yang mulia. Ia adalah bentuk apresiasi terhadap diri sendiri setelah melewati tantangan atau mencapai suatu tujuan. Mirip dengan sistem poin penghargaan pada kartu kredit namun ini adalah poin penghargaan kehidupan. Namun, di era media sosial yang serba memperlihatkan gaya hidup ini self-reward seringkali berubah menjadi bentuk validasi sosial. "Lihatlah, aku telah berjuang keras dan berhasil maka aku pantas mendapatkan ini." Demikian kira-kira pesan tak tertulis yang kerap kita kirimkan baik secara sadar maupun tidak.
Kita seringkali lupa definisi "kesulitan" itu terkadang kita dramatisir sendiri. Tenggat waktu pekerjaan yang mepet sedikit rasanya sudah paling menderita. Koneksi internet melambat sedikit rasanya hidup sudah di ujung tanduk. Atasan sedang kurang bersahabat rasanya sudah pantas mendapat ganti rugi. Padahal, semua itu adalah bagian tak terpisahkan dari dinamika kehidupan. Sejak kapan drama sehari-hari menjadi alasan untuk mengeluarkan biaya besar hanya demi membeli kebahagiaan sesaat? Secangkir kopi kekinian yang harganya setara dua porsi makan siang misalnya. Padahal tujuannya hanya untuk difoto dan diunggah ke media sosial agar terlihat "produktif dan menikmati hidup".
Pada akhirnya, alih-alih menemukan kebahagiaan kita justru terjebak dalam siklus yang tak berkesudahan. Stres karena pekerjaan lalu memberi self-reward dengan berbelanja. Setelah berbelanja stres lagi karena dompet menipis dan merasa butuh self-reward lagi. Demikian seterusnya hingga saldo rekening menipis dan kita baru tersadar: ternyata kebahagiaan sejati tidak selalu bisa dibeli dengan barang. Atau mungkin bisa namun efeknya hanya bertahan hingga notifikasi tagihan bulanan muncul di layar ponsel.
Mungkin sudah saatnya kita kembali pada esensi self-reward yang sebenarnya. Bukan lagi tentang barang mewah atau perjalanan mahal melainkan hal-hal sederhana yang benar-benar mampu mengisi ulang energi tanpa harus menguras isi dompet. Tidur siang di akhir pekan, membaca buku favorit tanpa gangguan, atau sekadar menikmati secangkir kopi/teh di teras rumah. Bagaimanapun kebahagiaan seringkali ditemukan dalam hal-hal yang paling tidak terduga dan paling tidak membutuhkan upaya besar.
Jadi, sebelum memutuskan untuk self-reward dengan gawai terbaru atau tiket liburan ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri: "Apakah aku benar-benar membutuhkan ini atau hanya sekadar keinginan untuk menunjukkan kepada orang lain?" Sebab, kadang kala self-reward terbaik justru adalah berhenti membebani diri dengan ekspektasi berlebihan dan mulai mensyukuri apa yang sudah kita miliki.
Komentar
Posting Komentar