Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2025

Dramatika Roda Berputar: Lintasan Evolusi Transportasi Publik di Makassar

Di jantung Kota Anging Mammiri, pergerakan masyarakat telah lama menjadi cerminan dinamis dari perubahan sosial dan ekonomi yang tak pernah berhenti. Dari alunan bel becak yang melenggang pelan di era lampau, deru mesin ojek pangkalan yang tak sabar di sudut-sudut jalan, raungan khas bentor yang merajalela, hingga kecepatan ojek online dan kehadiran kembali bajaj yang kini merajai jalanan kita menyaksikan sebuah epik evolusi transportasi publik. Ini bukan sekadar kisah tentang perpindahan dari satu titik ke titik lain, melainkan sebuah narasi tentang adaptasi, persaingan, dan identitas yang terus bergeser seiring putaran roda waktu. Sebelum dominasi mesin menguasai setiap jengkal aspal becak adalah raja jalanan yang tak terbantahkan. Dengan kayuhan bapak-bapak yang sabar dan gigih, becak menawarkan sebuah pengalaman bertransportasi yang personal dan berirama lambat. Penumpang tak hanya diantar sampai tujuan tetapi juga seringkali diajak mengobrol ringan. Berbagi kisah-kisah kecil t...

Nasihat Ibu: Dulu Bikin Sebal, Sekarang Bikin Kangen

Sebagai anak rantau yang mengadu nasib atau menuntut ilmu di kota maritim yang ramai ini, Makassar, ada satu melodi yang seringkali terputar dalam sunyi malam di kamar kosan: melodi suara ibu. Bukan nada tinggi omelan karena cucian menumpuk atau laporan keuangan bulanan yang jebol, melainkan alunan lembut nasihat-nasihat beliau yang dulu kita anggap sebagai latar belakang kehidupan, kini justru menjelma menjadi simfoni kerinduan yang tak berkesudahan. Dulu, di bawah atap rumah yang sama, nasihat ibu seringkali kita kategorikan sebagai track berulang dalam album kehidupan. "Jangan lupa pakai jaket kalau keluar malam!", "Jangan makan mie instan terus!", "Rajin belajar biar tidak menyesal nanti!", "Jaga sopan santun di mana pun berada!". Semua diucapkan dengan intonasi penuh perhatian yang kala itu seringkali kita artikan sebagai bentuk intervensi terhadap kebebasan kita sebagai individu yang sedang mencari jati diri. "Iye, Ma... sebentar lagi...

Aroma Surga di Dapur Ibu: Lebih dari Sekadar Rasa, Ini tentang Kenangan yang Meresap di Setiap Gigitan

Di tengah riuhnya inovasi kuliner yang terkadang terasa asing dan berlebihan, ada satu palet rasa yang selalu berhasil memanggil pulang jiwa kita: Masakan Ibu. Lebih dari sekadar resep turun temurun atau teknik memasak yang dipelajari dari warisan keluarga, hidangan yang tercipta dari tangan seorang ibu adalah sebuah kapsul waktu yang tak ternilai harganya. Ia membawa kita kembali ke masa-masa polos, ke meja makan yang penuh kehangatan dan cerita, serta ke dekapan kasih sayang yang tak pernah pudar. Di sudut-sudut kota Makassar ini, aroma gurih ikan bolu bakar dengan sambal terasi pedas atau keharuman sop konro yang kaya rempah mungkin menjadi representasi magis dari "Masakan Ibu". Ada sebuah misteri kuliner abadi yang terus menggelayuti benak kita: mengapa setiap hidangan yang keluar dari dapur ibu memiliki cita rasa yang unik dan tak tertandingi? Apakah beliau menambahkan sejumput "cinta" di setiap takaran bumbu? Atau mungkin ada doa-doa tulus yang meresap dalam...

Dinamika Keanggotaan dalam Ruang Obrolan Digital: Fenomena Left Group dan Implikasi Sosialnya

Ruang obrolan digital, yang dimediasi oleh berbagai platform komunikasi daring, telah menjelma menjadi arena penting dalam interaksi sosial kontemporer. Di dalamnya, individu membentuk kelompok berdasarkan minat, afiliasi, atau tujuan tertentu. Namun, dinamika keanggotaan dalam entitas virtual ini tidaklah statis. Salah satu fenomena menarik yang kerap muncul adalah tindakan individu untuk secara sukarela meninggalkan kelompok, atau yang dikenal secara awam sebagai " left group ". Tindakan ini, meskipun tampak sederhana, menyimpan kompleksitas motivasi dan implikasi terhadap struktur sosial kelompok daring. Berbagai faktor dapat memicu keputusan seorang anggota untuk meninggalkan grup obrolan. Pertama, perubahan relevansi topik diskusi menjadi pertimbangan signifikan. Seiring berjalannya waktu, minat atau kebutuhan awal yang mempertemukan individu dalam kelompok mungkin mengalami evolusi. Ketika diskusi dalam grup tidak lagi selaras dengan perkembangan personal atau profesion...

Pencitraan Level Dewa: Ketika Kehidupan Nyata Kalah Seru dengan Feed Instagram

Selamat datang di sirkus digital, tempat di mana setiap orang berlomba-lomba menjadi badut paling menarik dengan topeng kesempurnaan yang dipoles sedemikian rupa. Kita hidup di era ketika validasi eksternal dari orang-orang asing di internet terasa lebih berharga daripada kebahagiaan batin yang autentik. Inilah panggung sandiwara tanpa akhir, di mana kenyataan hanyalah behind the scenes yang suram, dan feed media sosial adalah blockbuster fiksi ilmiah yang kita bintangi sendiri. Mari kita telaah lebih dalam patologi pencitraan ini. Ada sindrom "kurang likes kurang eksis" yang menghantui para content creator dadakan. Setiap unggahan adalah sebuah pertaruhan eksistensi. Jika jumlah likes tidak sesuai ekspektasi, timbul perasaan gelisah, seolah-olah ada yang salah dengan diri kita. Kita menjadi budak algoritma, menari mengikuti irama tren demi mendapatkan sedikit perhatian di tengah lautan informasi yang tak berujung. Kemudian, ada ilusi perbandingan sosial yang semakin ak...

Antara 'Literally' dan 'Kayak': Mengurai Gaya Bahasa Bercampur Inggris di Kalangan Anak Muda Kota (Sebuah Observasi dari Jauh)

Di lanskap linguistik Indonesia yang terus bergejolak, muncul sebuah dialek urban yang cukup mencuri perhatian di kalangan generasi muda yang berjejaring erat dengan budaya global: gaya bahasa bercampur Inggris. Sebuah fenomena unik di mana percakapan sehari-hari disisipi dengan serpihan-serpihan bahasa Inggris, menciptakan sebuah hybrid yang kadang terdengar catchy , kadang bikin dahi berkerut, namun selalu menarik untuk diobservasi, bahkan dari kejauhan seperti kita di sini. Mengapa fenomena ini begitu mencolok? Barangkali, ini adalah manifestasi dari era globalisasi yang tak terhindarkan, di mana paparan terhadap budaya asing, terutama melalui media sosial dan hiburan, telah meresap ke dalam cara kita berkomunikasi. Kata-kata seperti " literally , anyway , so , basically " tiba-tiba menjadi bumbu penyedap dalam kalimat bahasa Indonesia, seolah-olah tanpa mereka, percakapan terasa kurang up-to-date atau kurang memiliki impact . Namun, fenomena ini juga memunculkan pertany...

Coto vs Pallubasa: Pertarungan Dua Jawara Kuliner Makassar yang Tak Pernah Usai

Di ranah kuliner Makassar yang kaya dan menggugah selera, berdiri kokoh dua maestro yang tak pernah lekang oleh waktu: Coto Makassar dan Pallubasa. Keduanya sama-sama berkuah, sama-sama menggunakan daging dan jeroan sapi, dan sama-sama bikin lidah bergoyang tak karuan. Namun, layaknya El Clasico di dunia sepak bola, rivalitas di antara keduanya abadi dan tak pernah benar-benar usai. Pertanyaannya: apa yang membuat dua hidangan ini begitu dicintai sekaligus diperdebatkan? Mari kita mulai dengan Coto Makassar, sang legenda yang namanya sudah melanglang buana. Kuahnya yang kaya rempah, hasil dari perebusan daging dan jeroan sapi dalam waktu yang lama, memberikan cita rasa gurih dan sedikit manis yang khas. Potongan daging dan jeroan yang empuk, berpadu dengan buras atau ketupat yang lembut, menciptakan harmoni rasa yang sulit ditolak. Coto sering dianggap sebagai representasi otentik kuliner Makassar, hidangan wajib bagi siapa saja yang berkunjung ke kota ini. Di sisi lain, ada Pallubasa...

Skripsi: Antara Cinta dan Benci, Deadline Mencekik, dan Tangisan Tengah Malam

Bagi mayoritas mahasiswa, skripsi bukanlah sekadar tugas akhir untuk meraih gelar sarjana. Lebih dari itu, ia adalah sebuah rite of passage , sebuah ujian mental dan spiritual yang intensitasnya bisa menyaingi kerasnya persaingan harga buras di bulan Ramadan. Skripsi adalah medan perang intelektual di mana air mata bercampur dengan kopi pahit, deadline mengejar bagai lintah darat, dan cinta serta benci pada topik penelitian seringkali bertukar tempat dalam hitungan jam. Awalnya, semuanya tampak indah. Dengan semangat membara dan idealisme setinggi Monas, kita memilih topik skripsi yang kita anggap paling menarik dan relevan dengan cita-cita luhur kita. Judulnya pun terdengar keren dan ilmiah, seolah-olah kita akan mengguncang dunia dengan penemuan-penemuan revolusioner. Namun, seiring berjalannya waktu, realitas pahit mulai menghantam bagai ombak Losari di musim badai. Mencari referensi terasa seperti mencari jarum dalam tumpukan skripsi mahasiswa abadi di perpustakaan fakultas. Waktu ...

Ritual 'Oleh-Oleh': Antara Tradisi, Kewajiban, dan Beban Koper di Tanah Air

Di Indonesia, bepergian ke suatu tempat tanpa membawa buah tangan sekembalinya itu rasanya seperti makan nasi goreng tanpa kerupuk – ada yang kurang, hambar, dan menimbulkan pertanyaan dari orang-orang sekitar. "Oleh-oleh mana?" adalah pertanyaan sakral yang akan menghantui Anda begitu kaki menginjak kembali tanah air, bahkan sebelum Anda sempat rebahan menghilangkan pegal-pegal di badan. Ini bukan lagi sekadar tradisi luhur, tapi sudah menjelma menjadi semacam social currency , mata uang tak tertulis untuk menjaga hubungan baik dengan sesama. Bayangkan saja drama di bandara atau stasiun. Koper yang berangkat dengan gagah perkasa dan ruang kosong menganga, kembali dengan kondisi mengenaskan: penuh sesak, resleting menjerit minta ampun, dan beratnya bisa mengalahkan beban hidup para jomblo di malam Minggu. Isinya pun beragam, mulai dari keripik singkong pedas level neraka, dodol yang lengketnya abadi, bakpia dengan berbagai rasa yang kadang aneh-aneh, sampai suvenir-suvenir ab...

Jam Karet Indonesia: Antara Janji Waktu, Realitas Molor, dan Seni Menunggu Tanpa Kepastian

Di negeri tercinta ini, konsep waktu seringkali terasa lebih elastis daripada celana kolor setelah makan banyak. Kita punya istilah ajaib yang sudah mendunia (setidaknya di kalangan para bule yang kebingungan): "jam karet". Ketika undangan acara tertulis pukul delapan pagi, jangan kaget kalau acaranya baru dimulai saat matahari sudah mulai memanggang aspal. Ini bukan lagi sekadar keterlambatan biasa, tapi sudah menjadi bagian dari local wisdom , kearifan lokal yang mengajarkan kita untuk tidak terlalu berharap pada jarum jam. Mengapa "jam karet" begitu mendarah daging dalam urat nadi kehidupan kita sehari-hari? Mungkin karena kita terlalu menikmati filosofi "santai dulu, nanti juga nyampe". Atau mungkin, ini adalah bentuk adaptasi jenius terhadap lalu lintas yang lebih unpredictable dari plot sinetron azab. Perjalanan yang seharusnya 30 menit bisa molor jadi satu jam hanya karena ada truk mogok yang entah kenapa parkirnya di tengah jalan. Ada tingkatan ...

Mukena Everywhere: Ketika Pakaian Salat Jadi Outfit Andalan Keluar Rumah di Indonesia

Di Indonesia, Mukena bukan sekadar kain penutup aurat saat salat. Lebih dari itu, ia adalah the ultimate grab-and-go outfit yang level kepraktisannya sudah melampaui fungsi utama. Bayangkan, ini seperti pisau Swiss Army tapi versi syariah, selalu siap sedia untuk berbagai keperluan mendesak di luar rumah, bahkan yang tidak ada hubungannya dengan ibadah sama sekali. Coba perhatikan saja scene sehari-hari di perkampungan atau komplek perumahan. Ketika ibu-ibu komplek tiba-tiba mendapat * panggilan alam* untuk membeli micin atau terasi di warung ujung gang, seringkali Mukena menjadi fashion statement tercepat dan terpraktis. Tinggal slup , langsung sopan, aurat tertutup, dan tidak perlu repot ganti baju yang mungkin masih bau cucian semalam. Anggap saja ini fast fashion versi kilat, lebih cepat dari cheat code game online. Fenomena yang sama juga sering kita jumpai saat kurir COD (yang seringkali datang di waktu yang paling tidak tepat) mengetuk pintu. Daripada panik mencari daster y...

Meme Jadi Bahasa Universal: Bagaimana Gambar Lucu Menjelaskan Isi Hati Kita Lebih Baik dari Kata-Kata?

  Di tengah banjir informasi dan kompleksitas komunikasi di era digital, muncul sebuah bahasa baru yang sederhana namun ampuh: meme. Sebuah gambar, video singkat, atau teks yang seringkali dibubuhi humor dan mampu menyampaikan perasaan atau ide yang rumit hanya dalam hitungan detik. Anehnya, bahasa visual ini justru terasa lebih universal dan efektif daripada rangkaian kata-kata yang panjang dan bertele-tele, seolah-olah kita semua tiba-tiba fasih berbahasa alien bernama "meme". Coba kita perhatikan percakapan kita sehari-hari di media sosial. Ketika kita merasa malas menjelaskan sesuatu yang sudah jelas, seringkali kita hanya mengirimkan meme "Drake Hotline Bling" dengan pilihan yang tepat. Ketika kita ingin menyampaikan kekecewaan terhadap suatu situasi, meme "Woman Yelling at Cat" sudah cukup mewakili berjuta kata. Bahkan, ketika kita ingin merayakan keberhasilan kecil, meme "Success Kid" dengan kepalan tangan ikoniknya mampu menyampaikan keba...

Mendengarkan Pembicaraan Orang Lain: Antara Kepo Alami, Hiburan Gratis, dan Pelanggaran Privasi

Di tengah riuhnya transportasi umum yang penumpangnya lebih padat dari ikan sarden dalam kaleng, antrean kasir supermarket yang bergerak lebih lambat dari siput berpuasa, atau bahkan di meja sebelah warung kopi yang aromanya lebih kuat dari bau kenangan mantan, seringkali telinga kita tanpa sengaja (atau mungkin dengan sedikit usaha) menangkap serpihan-serpihan percakapan orang lain. Ini adalah reality show gratis tanpa perlu berlangganan platform streaming , sebuah sinetron kehidupan nyata yang diputar tanpa kita minta dan seringkali lebih seru dari drama Korea. Ada berbagai macam genre drama yang bisa kita saksikan secara audio ini. Mulai dari curhatan galau tentang masalah percintaan yang lebih rumit dari rumus fisika kuantum, keluhan tentang atasan yang menyebalkannya sudah level dewa, sampai rencana liburan seru ke tempat eksotis yang langsung membuat kita merasa gagal menjadi manusia karena belum pernah ke sana. Kadang, percakapan itu begitu plot twist dan penuh intrik sampai k...

Hukum Kekekalan Buku Pinjaman: Berpindah Tangan Secara Misterius dan Tak Pernah Kembali

Ada sebuah hukum tak tertulis di dunia literasi, yang sayangnya lebih sering terjadi daripada diskon buku di pameran: buku yang dipinjamkan, entah bagaimana caranya, akan memasuki sebuah pusaran ruang dan waktu yang aneh, berpindah tangan secara misterius, dan memiliki tingkat kemungkinan kembali ke pemilik aslinya setara dengan kemungkinan mantan mengajak balikan setelah kita bahagia dengan yang lain. Ini bukan lagi sekadar insiden kecil, tapi sebuah konspirasi tingkat tinggi yang melibatkan kelupaan kronis stadium akhir, tumpukan barang di kamar kosan yang lebih tinggi dari Gunung Bromo, dan keyakinan bahwa buku pinjaman itu sudah menjadi hak milik abadi. Awalnya selalu dengan niat suci seorang pecinta buku yang ingin berbagi kebahagiaan membaca. Seorang teman (atau kenalan yang baru kenal lima menit tapi sudah berani pinjam buku tebal) meminjam buku kesayangan kita. "Wah, ini insightful sekali kayaknya. Tenang, nanti kubaca kilat kayak kilat beneran terus langsung balik!...

Para 'Silent Reader': Mereka Ada, Menyimak, Tapi Tak Terjamah di Grup WhatsApp

Di setiap grup WhatsApp, pasti ada de'na mereka: para silent reader . Sosok-sosok misterius yang fotonya terpampang gagah di daftar anggota, bahkan mungkin sempat kasih emotikon jempol pas grup baru dibikin, tapi setelah itu... sunyi senyap kayak kuburan tengah malam pas mati lampu. Mereka ada, mata mereka pasti melototi semua chat , tapi jari-jari mereka ini kayak kena lem super, susah sekali bergerak untuk mengetik satu huruf pun. Siapakah gerangan para silent reader ini, we'? Apakah mereka intelijen negara yang lagi nyamar dan kumpulkan informasi penting dari obrolan grup yang isinya cuma bahas promo makanan, berita dari facebook, sampai bahan-bahan renungan hidup? Pengamat sosial yang lagi bikin tesis tentang perilaku manusia di dunia digital yang penuh emoticon tertawa sambil menangis? Atau jangan-jangan, memang mereka ini jin penunggu grup yang cuma bisa lihat tapi tidak bisa menyentuh? Spekulasi memang lebih seru nah  daripada kenyataan yang biasanya cuma bilang ...

Dari 'Bestie' Jadi 'Kenalan lama': Sebuah Elegi Pertemanan yang Memudar di Era Kesibukan

Ingatkah Anda pada masa-masa ketika "bestie" bukan hanya sekadar username di media sosial, tapi seseorang yang hafal betul aroma ketek Anda setelah main futsal dan tahu persis episode mana di serial favorit Anda yang paling bikin nangis? Masa-masa di mana spontanitas adalah agama, dan rencana dadakan untuk begadang sambil makan mie instan di kosan terasa lebih mewah dari fine dining bintang lima. Lalu, tanpa ada deklarasi perang atau pengumuman resmi, perlahan tapi pasti, frekuensi chat berkurang, panggilan telepon tak terjawab semakin menumpuk, dan pertemuan yang dulu rutin kini menjadi agenda langka yang perlu dijadwalkan berminggu-minggu sebelumnya. Awalnya mungkin hanya karena tuntutan skripsi yang membuat otak terasa mendidih atau proyek kantor yang membuat mata panda semakin tebal. Anda sibuk mengejar validasi dari dosen atau atasan, dia berjuang melawan tenggat waktu yang kejam. Komunikasi yang tadinya sehangat mentari pagi, mulai mendingin menjadi sekadar saling me...

Misteri Akun Instagram Kosong Ber-Followers Sultan: Mereka Ini Siapa dan Mau Apa?

Di rimba belantara Instagram yang penuh dengan foto makanan estetik, selfie dengan filter menawan, dan video reels joget-joget yang entah apa maksudnya, ada satu fenomena yang cukup membingungkan: akun dengan nol postingan tapi followers -nya bikin kita insecure seumur hidup. Ribuan, bahkan jutaan pengikut setia menanti unggahan yang tak kunjung datang. Ini seperti memiliki stadion megah tapi tidak pernah ada pertandingan, atau punya pacar cakep tapi tidak pernah diajak kencan. Aneh tapi nyata, dan bikin garuk-garuk kepala. Siapakah gerangan pemilik akun-akun misterius ini? Apakah mereka alien yang sedang melakukan riset tentang kebiasaan scrolling manusia di bumi? Agen rahasia yang sedang menyamar dan tidak ingin meninggalkan jejak digital selain jejak following yang masif? Atau mungkin mereka adalah reinkarnasi dewa-dewi mitologi yang baru mengenal Instagram tapi masih bingung cara posting ? Spekulasi liar memang selalu lebih menarik daripada kenyataan yang mungkin se-zonk kuota...

Dunia Paralel 'Second Account': Ketika Identitas Asli Terasa Terlalu Mainstream

  Di era media sosial yang serba pamer dan penuh pencitraan ini, muncullah sebuah fenomena menarik: "second account" atau akun kedua. Bukan lagi sekadar akun cadangan kalau lupa password , tapi sebuah dunia paralel di mana seseorang bisa menjelma menjadi sosok yang mungkin sangat berbeda dengan citra yang dibangun di akun utama. Ibaratnya, akun utama adalah galeri seni yang dipoles sempurna, sementara akun kedua adalah studio berantakan tempat ide-ide liar dan ekspresi jujur (walaupun kadang absurd) bermunculan. Akun utama, bagi banyak orang, adalah panggung teater digital. Di sana, kita menampilkan versi terbaik (atau setidaknya versi yang paling layak diunggah) dari diri kita. Foto liburan yang aesthetic dengan filter andalan, pencapaian karier yang membanggakan (lengkap dengan caption penuh motivasi), opini-opini cerdas (yang mungkin hasil copy-paste dari thread orang lain yang kebetulan lewat di timeline ), semua tertata rapi demi menjaga citra diri di mata teman, ke...

Drama di Balik 'Otw': Sebuah Kajian Sosiologis tentang Karet Waktu dan Ekspektasi yang Tak Terpenuhi

Di era komunikasi serba cepat ini, ada satu kata ajaib yang seringkali menjadi andalan banyak orang ketika ditanya keberadaannya: "otw". Tiga huruf sakti yang konon katanya menandakan bahwa seseorang sedang dalam perjalanan menuju lokasi yang dijanjikan. Namun, kenyataannya, "otw" seringkali lebih misterius daripada hilangnya uang di dompet setelah gajian. Mari kita bedah fenomena "otw" ini lebih dalam. Ketika seseorang mengirimkan pesan "otw", apa sebenarnya yang sedang terjadi di balik layar? Apakah dia sudah benar-benar keluar rumah dan tinggal tancap gas, meninggalkan jejak ban di aspal saking semangatnya? Atau, jangan-jangan dia masih berkutat dengan handuk di kamar mandi sambil bersenandung lagu TikTok terbaru, bahkan mungkin masih asyik memberikan likes pada postingan teman di Instagram? Kebenaran di balik "otw" seringkali lebih gelap daripada kopi tanpa gula di pagi hari. Ada berbagai tingkatan "otw" yang perlu kita p...

Ketika 'Makan Enak' Jadi Sebuah Kompetisi: Antara Harga, Rasa, dan Gengsi

Aldo bertanya "mau makan di mana?" itu bisa jadi sama rumitnya dengan menentukan pilihan presiden. Ada begitu banyak opsi, dari restoran legendaris yang katanya sudah berjualan sejak zaman penjajahan (mungkin sambil melawan penjajah dengan sambal terasi), sampai kafe-kafe instagramable yang menunya lebih panjang dari daftar dosa mantan. Tapi yang menarik adalah, "makan enak" seolah-olah sudah naik level menjadi sebuah kompetisi, layaknya audisi Indonesian Idol tapi jurinya lebih galak kalau makanannya tidak sesuai ekspektasi. Dulu, kita makan enak itu ya karena memang rasanya bikin lidah bergoyang dan perut kenyang. Sekarang, ada variabel lain yang ikut menentukan: harga (semakin mahal semakin dianggap "wah", padahal belum tentu dompet ikut "wah"), tampilan (harus aesthetic buat di-posting, biar dapat banyak likes dan dianggap up-to-date ), dan tentu saja, gengsi. Kalau belum pernah coba tempat makan X yang lagi viral, rasanya seperti ada yang...

Fenomena 'Nongkrong' di Warkop: Antara Eksistensi, Wifi Gratis, Mabar, dan Obrolan Tanpa Henti

  Percayalah, kalau alien tiba-tiba mendarat darurat di Makassar ini, pasti mereka akan mengira ini adalah pusat komando dunia. Ramai sekali manusia di mana-mana, kumpul seperti lagi demonstrasi. Padahal, jangan ko geer , wahai para pencari jejak alien! Itu cuma warung kopi, atau yang biasa dibilang "warkop" sama kita-kita di sini. Satu tempat nongkrong yang aturannya lebih kompleks dari skripsi, tapi tetap saja bikin betah. Di kota ini, warkop itu bukan cuma sekadar tempat minum kopi pahit dan pisang goreng dengan pasangannya 'sambal' atau 'mentega gula pasir'. Lebih dari itu, sudah jadi rumah kedua bagi banyak orang. Habis dari rumah, habis dari kantor (atau kampus kalau lagi rajin), warkop mi itu tempat singgah paling syahdu. Kalau datang sendiri, dikira kurang kerjaan , kecuali memang lagi cari inspirasi buat tugas atau cuma mau numpang wifi gratis tanpa rasa bersalah sedikit pun. Nah, soal wifi gratis ini, jangan main-main. Ini salah satu alasan utama ke...

Slow Respon dan Hierarki Pertemanan: Siapa yang Lebih Berhak Dapat Balasan Cepat?

  Di dunia (perchat-an) yang serba cepat ini, kecepatan membalas pesan seolah-olah menjadi indikator penting dalam menilai tingkat kepentingan kita di mata teman atau sejawat. Sadar nggak sadar, ada semacam hierarki tak tertulis yang menentukan siapa yang lebih "berhak" mendapatkan balasan secepat kilat, dan siapa yang harus sabar menunggu bagai penunggu jodoh seperti saya ini. Pertanyaannya, siapa sih yang menduduki puncak piramida balasan cepat ini? Apakah teman yang paling dekat, bos yang paling ditakuti, atau gebetan yang paling bikin penasaran? Mari kita telaah lebih lanjut teori sosial media yang absurd tapi mungkin ada benarnya ini. Biasanya, mereka yang menduduki level tertinggi dalam hierarki balasan cepat adalah keluarga inti (ibu, ayah, saudara kandung) dan tentu saja, gebetan (terutama di masa-masa pendekatan). Kalau ibu nge- chat nanya udah makan belum, rasanya seolah-olah alarm bahaya berbunyi kalau nggak langsung dibalas. Begitu juga dengan gebetan, setiap not...

Rindu: Antara Bikin Senyum-Senyum Sendiri dan Menyesakkan Dada

  Rindu. Kata sederhana dengan kekuatan luar biasa untuk mengaduk-aduk perasaan. Ia bisa datang tiba-tiba tanpa permisi, menghampiri kita di tengah kesibukan atau kesepian. Anehnya, rasa rindu ini punya dua wajah yang bertolak belakang. Kadang ia hadir membawa senyum tipis saat kita mengingat lelucon teman lama atau momen romantis dengan si 'dia'. Tapi seringkali pula, rindu menyeram bagai hantu malam, menyesakkan dada karena jarak yang memisahkan atau kehilangan yang membekas. Memang, rindu ini ahli dalam bermain-main dengan emosi kita. Ada kalanya rindu datang membawa serta remang-remang cahaya kenangan indah. Kita tiba-tiba teringat suara tawa sahabat, kehangatan pelukan keluarga, atau momen spesial dengan orang tercinta. Kenangan-kenangan ini membuat kita senyum-senyum sendiri, seolah-olah sedang menonton cuplikan film favorit di kepala. Rasa rindu yang seperti ini terasa manis dan menghangatkan, seolah-olah kita sedang memeluk kenangan itu erat-erat. Tapi, rindu juga punya...