Seni Bertahan Hidup di Tengah Kemacetan Makassar: Antara Kesabaran Tingkat Dewa dan Jurus 'Serobot-Menyerobot' yang Elegan
Macet di Makassar itu bukan sekadar antrean kendaraan yang bikin setiap orang menghela napas. Lebih dari itu, macet adalah sebuah ekosistem tersendiri, sebuah arena persaingan di mana kesabaran diuji, emosi diluapkan dalam hati dan jurus 'serobot-menyerobot' dipertontonkan dengan tingkat keahlian yang hampir mencapai level seni. Bertahan hidup di tengah kemacetan Makassar butuh lebih dari sekadar kemampuan mengemudi; ia membutuhkan kesabaran tingkat dewa, penguasaan jurus 'menyelinap' yang elegan, dan tentu saja kesiapan berinteraksi dengan para "penguasa jalanan" yang tak terduga.
Anatomi Kemacetan: Lebih Kompleks dari Jaringan Cinta Anak Muda. Kenapa Makassar bisa macet? Jangan tanya. Volume kendaraan yang terus bertambah kayak jumlah followers influencer dadakan, tata kota yang kadang bikin garuk-garuk kepala, kebiasaan parkir seenak jidat yang sudah jadi budaya dan seringkali diperparah oleh tukang parkir ilegal yang tiba-tiba muncul di bahu jalan yang seharusnya steril, sampai proyek pembangunan yang seolah tak pernah usai. Semua elemen ini berkonspirasi menciptakan simfoni kemacetan yang bisa membuat perjalanan lima menit jadi lima puluh menit. Titik-titik macet legendaris seperti di sekitar Pasar Sentral, depan Mal Ratu Indah di akhir pekan, dan tentu saja, trio maut Antang, Perintis Kemerdekaan, serta Daya pas jam berangkat dan pulang kerja, sudah jadi bagian tak terpisahkan dari peta kota. Jangan lupakan juga 'bonus' macet dadakan di Jalan Urip Sumoharjo kalau ada lampu merah yang lagi kurang bersahabat, dan jangan heran kalau di setiap tempat putar balik (U-turn), berdiri sosok "pak ogah" atau "polisi cepek" dengan peluit dan gestur tangan khas mereka, mengatur lalu lintas dengan gaya mereka sendiri (kadang membantu, seringkali bikin tambah bingung).
Galeri Pengendara di Tengah Derita Macet. Di tengah lautan mobil dan motor yang merayap lambat, kita bisa menyaksikan berbagai macam spesies pengendara. Ada tipe zen yang headphone-nya terpasang menikmati musik seolah tak terjadi apa-apa. Ada tipe emosional yang mulutnya komat-kamit menyumpahi setiap kendaraan di depannya, terutama yang mencoba menyalip di jalur yang jelas-jelas sudah penuh. Ada tipe licin kayak belut yang dengan segala kelihaiannya mencari celah sekecil apapun, bahkan trotoar pun kadang jadi pilihan (jangan ditiru!). Dan tentu saja, ada tipe pasrah yang cuma bisa menghela napas sambil termenung menatap cakrawala kemacetan, terutama saat terjebak di Perintis yang seolah tak berujung, sambil sesekali melirik kaca spion kalau-kalau ada tukang parkir ilegal yang tiba-tiba menagih di tengah jalan.
Jurus 'Serobot-Menyerobot': Seni Tingkat Tinggi Para Pengendara Makassar. Inilah mahaguru bertahan hidup di kemacetan Makassar: kemampuan menyalip dan mencari jalan pintas dengan gaya. Pengendara motor adalah ninja-nya, dengan kelincahan mereka menyisir di antara mobil yang statis, terutama di jalur lambat Antang tempat favorit "pak ogah" mencari rezeki. Mobil pun tak mau kalah, kadang ada yang tiba-tiba pindah jalur tanpa mikir panjang, bikin pengendara lain di Daya cuma bisa geleng-geleng kepala, terutama kalau manuver tersebut dilakukan tepat di depan "polisi cepek" yang sedang asyik mengatur lalu lintas dengan gayanya yang unik. Ini bukan sekadar serobot biasa, tapi sebuah seni membaca ruang, merasakan ritme lalu lintas yang kacau, dan memanfaatkan setiap kesempatan sekecil apapun. Elegan? Ya, dalam konteks bertahan hidup (dan menghindari denda) dari "pengatur lalu lintas" dadakan).
Hiburan di Tengah Neraka Aspal. Anehnya, di tengah stresnya kemacetan, orang Makassar tetap bisa mencari hiburan. Ada yang sambil teleponan curhat ke teman, dengerin podcast kesukaan, atau bahkan menawarkan jasa jualan air mineral dadakan. Anak-anak kecil di dalam mobil kadang jadi sumber hiburan tersendiri dengan celotehan polosnya. Bahkan, persaingan sengit antar pengendara yang mencoba saling mendahului kadang jadi tontonan gratis yang cukup menghibur (walaupun bikin jantung deg-degan), terutama di jalur alternatif yang seringkali lebih macet dari jalur utama.
Dampak Psikologis: Antara Stres dan Ketahanan Mental. Terjebak dalam kemacetan setiap hari tentu saja bisa menguras emosi. Stres, frustrasi, dan rasa ingin cepat sampai rumah bercampur aduk jadi satu, terutama setelah seharian berkurasi di kantor dan harus menghadapi kengerian) macet di Antang atau Daya, belum lagi harus berurusan dengan tukang parkir ilegal yang tiba-tiba meminta "sumbangan" di tengah jalan. Namun, paradoksalnya, kemacetan Makassar juga menempa mental warganya jadi lebih tahan banting. Kita jadi lebih sabar (walaupun terpaksa), lebih kreatif dalam mencari alternatif jalan (walaupun seringkali gagal dan malah ketemu "polisi cepek" di putaran balik berikutnya), dan mungkin juga lebih bisa menerima kenyataan bahwa hidup memang penuh dengan ujian, termasuk ujian bernama macet di Perintis, lengkap dengan segala "aktor" pendukungnya.
Jadi, bertahan hidup di tengah kemacetan Makassar, terutama di Antang, Perintis, dan Daya, adalah sebuah perjalanan spiritual dan fisik sekaligus. Ia menguji kesabaran kita, memacu kreativitas kita dalam mencari jalan (yang seringkali buntu) dan tanpa sadar membentuk karakter kita menjadi lebih tangguh (atau lebih cepat naik pitam, terutama kalau dipatok tarif parkir seenaknya). Meskipun menyebalkan, kemacetan Makassar adalah bagian dari identitas kota ini. Dan di tengah setiap keserobotan dan keluhan, terselip juga kemampuan kita untuk tetap bertahan dan bahkan menemukan sedikit hiburan (biasanya berupa meme di media sosial setelah sampai rumah, atau sekadar senyum kecut melihat tingkah "pak ogah". Anggap saja ini latihan mental sebelum menghadapi kerasnya kehidupan di luar sana. Sabar ya! (Dan selalu siapkan sedikit receh buat para "penguasa jalanan").
Komentar
Posting Komentar