Hukum Kekekalan Buku Pinjaman: Berpindah Tangan Secara Misterius dan Tak Pernah Kembali
Ada sebuah hukum tak tertulis di dunia literasi, yang sayangnya lebih sering terjadi daripada diskon buku di pameran: buku yang dipinjamkan, entah bagaimana caranya, akan memasuki sebuah pusaran ruang dan waktu yang aneh, berpindah tangan secara misterius, dan memiliki tingkat kemungkinan kembali ke pemilik aslinya setara dengan kemungkinan mantan mengajak balikan setelah kita bahagia dengan yang lain. Ini bukan lagi sekadar insiden kecil, tapi sebuah konspirasi tingkat tinggi yang melibatkan kelupaan kronis stadium akhir, tumpukan barang di kamar kosan yang lebih tinggi dari Gunung Bromo, dan keyakinan bahwa buku pinjaman itu sudah menjadi hak milik abadi.
Awalnya selalu dengan niat suci seorang pecinta buku yang ingin berbagi kebahagiaan membaca. Seorang teman (atau kenalan yang baru kenal lima menit tapi sudah berani pinjam buku tebal) meminjam buku kesayangan kita. "Wah, ini insightful sekali kayaknya. Tenang, nanti kubaca kilat kayak kilat beneran terus langsung balik!" Janji manis yang sayangnya seringkali semanis janji politikus sebelum pemilu. Kita pun dengan hati terbuka (dan sedikit naif), menyerahkan buku itu, membayangkan diskusi intelektual yang mendalam setelah mereka selesai menyelaminya.
Minggu berganti bulan, bulan berganti musim, musim berganti tahun ajaran. Buku itu tetap menjadi misteri yang belum terpecahkan. Kita mulai mengirim chat dengan nada sok santai, lalu berubah menjadi spam emoji bertanya-tanya, hingga akhirnya mengirim pesan suara dengan nada putus asa. "Eh, itu... bukuku yang waktu itu... masih ada ji kah?" Pertanyaan yang seringkali dijawab dengan alasan klasik yang sudah dihafal di luar kepala ("aduh, masih di rumah ortu", "kayaknya dipinjam teman lain lagi", atau yang paling kreatif "tertelan bumi pas gempa kecil kemarin"), atau bahkan menghilang tanpa jejak seperti uang bantuan pemerintah.
Anehnya, buku yang dipinjamkan ini seolah memiliki kemampuan kamuflase tingkat tinggi. Ia bisa menyamar menjadi tumpukan koran bekas, bersembunyi di balik bantal sofa, atau bahkan ikut serta dalam perjalanan mudik tanpa sepengetahuan peminjam. Namun, ironisnya, ia tidak pernah bisa menemukan Google Maps untuk kembali ke alamat pemiliknya. Ada semacam medan magnet aneh yang membuatnya betah di "rumah sementara" yang semakin permanen.
Kita, sebagai pemilik buku yang malang, akhirnya hanya bisa meratapi nasib koleksi buku yang semakin bolong seperti dompet di akhir bulan. Ada semacam trauma mendalam setiap kali ada yang bertanya, "Punya buku rekomendasi?". Kita langsung teringat pada "korban-korban" yang tak pernah kembali. Kita belajar satu golden rule (yang sayangnya seringkali dilanggar demi menjaga hubungan sosial yang rapuh): lebih baik memberikan rekomendasi judul daripada memberikan bukunya langsung.
Mungkin ada alam semesta paralel di mana semua buku pinjaman yang hilang berkumpul, membentuk perpustakaan abadi bagi para peminjam yang amnesia. Di sana, "buku kita" mungkin sedang bersanding mesra dengan buku-buku lain yang bernasib serupa, menunggu pemiliknya datang dengan surat wasiat dan peta harta karun. Tapi kenyataannya, pemiliknya sudah lupa pernah meminjamkan buku itu.
Jadi, inilah balada menyedihkan tentang buku pinjaman yang hilang tak kembali. Sebuah pengingat pahit bahwa meskipun niat berbagi itu mulia, ada risiko besar bahwa buku kesayangan kita akan mengikuti hukum kekekalan yang kejam ini: berpindah tangan secara misterius dan menjadi kenangan yang menyakitkan. Lain kali, mungkin kita perlu membuat perjanjian tertulis bermaterai sebelum meminjamkan buku, atau sekalian saja memberikan kado buku baru. Lebih mahal sedikit, tapi hati tenang dan rak buku tetap rapi.
Komentar
Posting Komentar