Ritual 'Oleh-Oleh': Antara Tradisi, Kewajiban, dan Beban Koper di Tanah Air
Di Indonesia, bepergian ke suatu tempat tanpa membawa buah tangan sekembalinya itu rasanya seperti makan nasi goreng tanpa kerupuk – ada yang kurang, hambar, dan menimbulkan pertanyaan dari orang-orang sekitar. "Oleh-oleh mana?" adalah pertanyaan sakral yang akan menghantui Anda begitu kaki menginjak kembali tanah air, bahkan sebelum Anda sempat rebahan menghilangkan pegal-pegal di badan. Ini bukan lagi sekadar tradisi luhur, tapi sudah menjelma menjadi semacam social currency, mata uang tak tertulis untuk menjaga hubungan baik dengan sesama.
Bayangkan saja drama di bandara atau stasiun. Koper yang berangkat dengan gagah perkasa dan ruang kosong menganga, kembali dengan kondisi mengenaskan: penuh sesak, resleting menjerit minta ampun, dan beratnya bisa mengalahkan beban hidup para jomblo di malam Minggu. Isinya pun beragam, mulai dari keripik singkong pedas level neraka, dodol yang lengketnya abadi, bakpia dengan berbagai rasa yang kadang aneh-aneh, sampai suvenir-suvenir absurd seperti gantungan kunci berbentuk monumen lokal atau kaos bergambar "I Love [Nama Tempat]".
Mengapa ritual "oleh-oleh" ini begitu kuat mencengkeram budaya kita? Mungkin ini adalah manifestasi dari filosofi "berbagi itu indah" yang sudah mendarah daging. Dengan membawa oleh-oleh, kita seolah ingin mentransfer sedikit kebahagiaan dan pengalaman dari perjalanan kita kepada orang-orang tercinta (atau setidaknya orang-orang yang kita kenal). Ini adalah cara sederhana untuk mengatakan, "Hei, aku ingat kalian lho, meskipun aku sedang asyik menikmati liburan tanpa kalian."
Namun, di sisi lain, ada juga tekanan sosial yang cukup kuat di baliknya. Tidak membawa oleh-oleh bisa menimbulkan bisik-bisik tetangga yang lebih pedas dari sambal ulek, atau tatapan kecewa dari keluarga besar yang sudah menanti-nanti. Oleh-oleh menjadi semacam "tiket masuk" kembali ke lingkaran sosial kita, bukti bahwa kita tidak melupakan mereka saat sedang bersenang-senang. Ini seperti membayar "upeti" agar diterima kembali dengan tangan terbuka.
Ironisnya, seringkali kita harus memutar otak mencari oleh-oleh yang murah meriah tapi cukup untuk dibagikan ke se RT. Hasilnya? Gantungan kunci plastik yang entah akan ditaruh di mana, atau kaos dengan kualitas kain yang meragukan. Yang penting ada simbolisnya, meskipun kualitasnya mungkin tidak sebanding dengan perjuangan membawanya.
Jadi, lain kali jika Anda bepergian ke pelosok negeri, jangan lupakan ritual "oleh-oleh". Meskipun terkadang bikin koper jebol dan dompet menipis, ini adalah bagian penting dari cara kita menjalin dan menjaga tali silaturahmi. Anggap saja ini adalah investasi sosial jangka panjang. Dan siapa tahu, oleh-oleh berupa sebungkus keripik balado bisa menjadi pembuka pintu rezeki atau bahkan jodoh di masa depan (siapa yang tahu?).
Komentar
Posting Komentar