Dari 'Bestie' Jadi 'Kenalan lama': Sebuah Elegi Pertemanan yang Memudar di Era Kesibukan
Ingatkah Anda pada masa-masa ketika "bestie" bukan hanya sekadar username di media sosial, tapi seseorang yang hafal betul aroma ketek Anda setelah main futsal dan tahu persis episode mana di serial favorit Anda yang paling bikin nangis? Masa-masa di mana spontanitas adalah agama, dan rencana dadakan untuk begadang sambil makan mie instan di kosan terasa lebih mewah dari fine dining bintang lima. Lalu, tanpa ada deklarasi perang atau pengumuman resmi, perlahan tapi pasti, frekuensi chat berkurang, panggilan telepon tak terjawab semakin menumpuk, dan pertemuan yang dulu rutin kini menjadi agenda langka yang perlu dijadwalkan berminggu-minggu sebelumnya.
Awalnya mungkin hanya karena tuntutan skripsi yang membuat otak terasa mendidih atau proyek kantor yang membuat mata panda semakin tebal. Anda sibuk mengejar validasi dari dosen atau atasan, dia berjuang melawan tenggat waktu yang kejam. Komunikasi yang tadinya sehangat mentari pagi, mulai mendingin menjadi sekadar saling mengirim sticker tanpa makna di grup WhatsApp yang isinya semakin sepi. Bahkan, untuk sekadar bertanya "apa kabar?" pun terasa seperti memulai percakapan dengan nomor tak dikenal.
Ada semacam keheningan yang lebih menyesakkan daripada berada di tengah konser musik indie yang penontonnya cuma lima orang ketika akhirnya bertemu kembali di acara reuni yang terasa asing. Obrolan terasa seperti membaca naskah drama yang sudah usang, lelucon-lelucon zaman SMP terasa seperti bahasa alien, dan ada begitu banyak pencapaian dan kegagalan yang tidak lagi bisa kita bagikan dengan antusiasme yang sama. Kita masih bisa tersenyum canggung dan bertukar cerita basa-basi, tapi di mata masing-masing, terpancar jelas sebuah pengakuan yang tak terucapkan: kita sudah menjadi dua orang yang berbeda.
Mungkin ini adalah sunnatullah pertemanan, seperti daun yang berguguran di musim gugur. Setiap individu memiliki musimnya sendiri, kebutuhan yang berubah, dan prioritas yang bergeser seiring bertambahnya usia dan tanggung jawab. Tidak ada pihak yang bersalah, hanya saja ada ruang kosong yang terasa menganga di hati, seperti kehilangan earphone sebelah saat sedang mendengarkan lagu kesukaan.
Kita mungkin masih berteman di media sosial, menyaksikan dari jauh pencapaian karir, pernikahan, atau kelahiran buah hati mereka. Kita memberikan selamat dengan tulus, namun ada sedikit rasa iri atau nostalgia yang menyelinap di antara barisan emoticon tepuk tangan. Interaksi itu terasa seperti melihat foto-foto liburan lama yang penuh tawa, tapi kita tahu kita tidak akan pernah bisa mengulang momen itu lagi.
Mungkin kita menyimpan harapan samar akan adanya keajaiban, sebuah chat panjang yang tiba-tiba muncul dan mengembalikan semua keakraban yang hilang, seperti menemukan kembali surat cinta lama yang terselip di antara buku-buku usang. Tapi kenyataannya, waktu terus melaju seperti traffic light di lampu hijau, dan kenangan tentang betapa solidnya kita dulu semakin kabur ditelan rutinitas yang monoton dan lingkaran pergaulan yang baru.
Namun, di balik elegi pertemanan yang memudar ini, mungkin ada sebuah pelajaran yang tersembunyi. Bahwa setiap orang yang pernah hadir dalam hidup kita, seakrab apapun dulunya, akan memainkan peran dan memiliki masanya sendiri. Beberapa ditakdirkan untuk menjadi sahabat selamanya, namun tak sedikit pula yang hadir hanya untuk menemani kita di sebuah babak kehidupan tertentu. Dan ketika babak itu usai, bukan berarti cinta atau kenangan itu hilang, hanya saja bentuknya yang berubah. Dari "bestie" yang selalu ada, menjadi "kenalan lama" yang sesekali terlintas dalam ingatan, seperti melodi lagu lama yang tiba-tiba terputar di tengah kesunyian. Mungkin, menerima perubahan ini adalah bagian dari kedewasaan, sebuah pengakuan bahwa hidup adalah serangkaian pertemuan dan perpisahan, dan setiap "kenalan lama" pernah menjadi bagian penting dari cerita kita.
Komentar
Posting Komentar