Ketika 'Makan Enak' Jadi Sebuah Kompetisi: Antara Harga, Rasa, dan Gengsi


Aldo bertanya "mau makan di mana?" itu bisa jadi sama rumitnya dengan menentukan pilihan presiden. Ada begitu banyak opsi, dari restoran legendaris yang katanya sudah berjualan sejak zaman penjajahan (mungkin sambil melawan penjajah dengan sambal terasi), sampai kafe-kafe instagramable yang menunya lebih panjang dari daftar dosa mantan. Tapi yang menarik adalah, "makan enak" seolah-olah sudah naik level menjadi sebuah kompetisi, layaknya audisi Indonesian Idol tapi jurinya lebih galak kalau makanannya tidak sesuai ekspektasi.

Dulu, kita makan enak itu ya karena memang rasanya bikin lidah bergoyang dan perut kenyang. Sekarang, ada variabel lain yang ikut menentukan: harga (semakin mahal semakin dianggap "wah", padahal belum tentu dompet ikut "wah"), tampilan (harus aesthetic buat di-posting, biar dapat banyak likes dan dianggap up-to-date), dan tentu saja, gengsi. Kalau belum pernah coba tempat makan X yang lagi viral, rasanya seperti ada yang kurang dalam pergaulan, kayak belum khatam baca semua thread Twitter yang lagi ramai.

Coba perhatikan saja linimasa media sosial kita. Setiap hari pasti ada saja yang pamer foto makanan dengan caption "must try!", "hidden gem!" (padahal lokasinya di pinggir jalan besar dan antriannya mengular), atau yang paling menyebalkan, "akhirnya kesampaian juga!" (seolah-olah menaklukkan Everest). Seolah-olah menaklukkan restoran baru yang sedang hits adalah sebuah pencapaian besar dalam hidup, padahal mungkin besoknya sudah lupa rasa makanannya saking banyaknya tempat makan baru bermunculan.

Fenomena ini juga memunculkan istilah-istilah baru. Ada "anak Senja" yang hobinya nongkrong di kafe dengan kopi artisan (yang harganya bisa buat bayar parkir sebulan). Dan yang paling ekstrem adalah mereka yang rela antri berjam-jam demi sebuah hidangan yang katanya "legend" "viral" atau "autentik", padahal mungkin di warung sebelah juga ada yang rasanya mirip-mirip, hanya beda di storytelling-nya saja.

Lucunya lagi, terkadang kita lebih fokus mencari tempat makan yang instagramable daripada yang benar-benar enak di lidah. Pencahayaan yang bagus (bahkan sampai bawa ring light sendiri), interior yang unik (walaupun kursinya tidak nyaman), dan plating makanan yang ciamik (sampai makanannya dingin duluan) jadi prioritas utama. Soal rasa, ya nomor dua lah. Yang penting foto dulu buat eksistensi di dunia maya, biar dianggap "anak gaul" yang tahu tempat.

Tapi, di tengah hiruk pikuk kompetisi "makan enak" ini, untungnya masih banyak warung makan sederhana yang tetap setia dengan rasa autentik dan harga yang bersahabat. Di sana, kita bisa melihat orang-orang makan dengan lahap tanpa perlu memikirkan angle foto yang pas atau caption yang kekinian. Mungkin di sanalah esensi "makan enak" yang sebenarnya masih terjaga: rasa yang jujur dan suasana yang apa adanya.

Jadi, mari kita tetap menikmati kekayaan kuliner tanpa harus terjebak dalam kompetisi yang tidak berujung. Sesekali, bolehlah mencoba tempat yang lagi hits, biar tidak dibilang kudet. Tapi jangan lupakan juga warung-warung kaki lima yang sudah menemani perut kita sejak lama, yang rasanya sudah akrab di lidah dan harganya tidak bikin dompet menangis di pojokan. Karena pada akhirnya, yang paling penting adalah rasa di lidah, kebahagiaan di hati (dan perut yang kenyang), serta dompet yang tetap bersahabat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sehat Bersama Ternak: Tim Kesehatan Hewan Unhas Bergerak di Desa Baring

Sapi Qurban: Bintang Utama Iduladha, Dramanya Menggelegar, Berkahnya Melimpah Ruah!

Kecanduan Scrolling Tanpa Tujuan: Surga atau Neraka Informasi yang Tak Berujung