Capek Deh, Padahal Namanya Warkop, Tapi Pesanan Non-Kopi Lebih Laris

 


Dulu, warkop itu jelas: warung kopi. Tempatnya bapak-bapak menyeruput kopi hitam pahit sambil main domino atau baca koran. Aromanya pun khas, bau kopi robusta bercampur asap rokok kretek yang melekat di ingatan. Tapi zaman sudah berganti. Sekarang, masuk ke warkop, pemandangannya bisa bikin kita garuk-garuk kepala. Meja-meja penuh dengan gelas-gelas berwarna-warni berisi es teh jumbo, jus markisa yang asam segar, atau bahkan milkshake cokelat yang manisnya bikin diabetes tipe 2. Lah, kopinya mana? Kok kayaknya malah jadi minoritas? "Capek deh," mungkin begitu keluh kesah lirih dari termos kopi di pojokan warkop.

Evolusi Menu Warkop: Dari Hitam Pahit ke Pelangi Rasa. Dulu, menu warkop itu sederhana banget. Kopi hitam, kopi susu, teh panas, es teh. Udah. Kalaupun ada variasi, paling cuma nambahin gula lebih banyak atau kurang. Tapi sekarang? Warkop udah kayak franchise minuman kekinian. Ada es kopi susu (yang biasanya lebih banyak susunya daripada kopinya), es teh tarik (yang entah kenapa ditarik-tarik), berbagai macam jus buah (yang kadang setengahnya cuma es batu), sampai minuman-minuman blended rasa karamel atau hazelnut yang manisnya bikin gigi ngilu. Ini evolusi yang cukup signifikan, dari monokrom ke pelangi rasa.

Fenomena "Ngopi Terselubung": Tujuan Utama Bukan Kopi. Jujur aja nih, buat sebagian besar pengunjung warkop zaman sekarang (terutama anak muda), kopi itu kayaknya cuma alasan formal buat nongkrong. Tujuan sebenarnya adalah mencari tempat dengan wifi gratis buat melihat TikTok, ngerjain tugas, atau sekadar ngobrol sama teman. Minumannya mah nomor dua. Yang penting ada yang bisa dihirup sambil eksis di dunia maya.

Kopi sebagai "Orang Tua": Dihormati Tapi Kurang Diminati. Kopi hitam di warkop itu kayak orang tua zaman dulu. Dihormati karena sudah melegenda dan jadi bagian dari sejarah warkop itu sendiri. Tapi sayangnya, kurang diminati oleh generasi sekarang yang lebih suka rasa-rasa manis dan segar. Mungkin kopi hitam dianggap terlalu "berat" atau "old school" buat lidah mereka yang terbiasa dengan bubble tea atau macchiato karamel.

Ironi Nama dan Realita Pesanan. Jadi, paradoksnya adalah, tempatnya namanya warung kopi, tapi yang paling banyak dipesan justru minuman non-kopi. Ini kayak toko buku tapi paling laris jual alat tulis atau toko roti tapi donatnya lebih terkenal. Mungkin sudah saatnya warkop-warkop mempertimbangkan rebranding jadi "Warung Segala Minuman Murah Meriah Plus Ada Kopinya Juga"? Tapi ya, nama "warkop" sudah terlalu melekat di hati masyarakat.

Jadi, begitulah realita pahit (kayak kopi hitam yang kurang laku itu) di warkop zaman sekarang. Meskipun namanya masih warung kopi, tapi orang-orang lebih akrab sama es teh, jus, atau minuman manis lainnya. Mungkin termos kopi di pojokan cuma bisa pasrah sambil berbisik "Capek deh, padahal namanya warkop..." Tapi ya sudahlah, yang penting warkop tetap jadi ruang publik yang hangat dan ramah buat setiap kalangan, meskipun isinya lebih warna-warni kayak pelangi daripada hitam pekatnya kopi. Yang penting tetap bayar, ya!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sehat Bersama Ternak: Tim Kesehatan Hewan Unhas Bergerak di Desa Baring

Sapi Qurban: Bintang Utama Iduladha, Dramanya Menggelegar, Berkahnya Melimpah Ruah!

Kecanduan Scrolling Tanpa Tujuan: Surga atau Neraka Informasi yang Tak Berujung