Dunia Paralel 'Second Account': Ketika Identitas Asli Terasa Terlalu Mainstream
Di era media sosial yang serba pamer dan penuh pencitraan ini, muncullah sebuah fenomena menarik: "second account" atau akun kedua. Bukan lagi sekadar akun cadangan kalau lupa password, tapi sebuah dunia paralel di mana seseorang bisa menjelma menjadi sosok yang mungkin sangat berbeda dengan citra yang dibangun di akun utama. Ibaratnya, akun utama adalah galeri seni yang dipoles sempurna, sementara akun kedua adalah studio berantakan tempat ide-ide liar dan ekspresi jujur (walaupun kadang absurd) bermunculan.
Akun utama, bagi banyak orang, adalah panggung teater digital. Di sana, kita menampilkan versi terbaik (atau setidaknya versi yang paling layak diunggah) dari diri kita. Foto liburan yang aesthetic dengan filter andalan, pencapaian karier yang membanggakan (lengkap dengan caption penuh motivasi), opini-opini cerdas (yang mungkin hasil copy-paste dari thread orang lain yang kebetulan lewat di timeline), semua tertata rapi demi menjaga citra diri di mata teman, keluarga, kolega, bahkan mantan yang diam-diam masih stalking.
Lalu, muncullah "second account". Akun rahasia yang biasanya hanya diketahui oleh lingkaran pertemanan terdekat (atau bahkan hanya beberapa orang terpilih, layaknya anggota perkumpulan rahasia). Di sinilah topeng kepura-puraan ditanggalkan dengan kasar. Curhatan galau tengah malam yang penuh typo, shitposting receh yang tidak bermutu tapi entah kenapa bikin ngakak sendiri, opini-opini nyeleneh yang mungkin akan menimbulkan keributan di akun utama (dan berpotensi kehilangan followers), semua tumpah ruah di sini. Seolah-olah, akun kedua adalah katarsis digital, tempat kita bisa menjadi diri sendiri tanpa perlu khawatir dengan penilaian orang lain (atau setidaknya penilaian dari audiens yang lebih terbatas yang mungkin sudah tahu "bobroknya" kita).
Mengapa fenomena ini muncul bak jamur di musim hujan? Mungkin karena tekanan untuk selalu tampil sempurna di media sosial utama sudah terlalu tinggi. Kita dituntut untuk menjadi influencer dadakan dalam kehidupan sendiri, mempromosikan gaya hidup ideal yang seringkali jauh dari kenyataan (padahal kenyataannya ya cuma rebahan sambil makan mie instan). Akun kedua menjadi ruang aman untuk melepaskan semua kepalsuan itu, tempat kita bisa unfiltered dan apa adanya (walaupun kadang kelewatan batas juga sih).
Di "second account", kita bisa melihat sisi lain dari seseorang. Teman yang di akun utama selalu terlihat ceria dan sukses dengan quotes-quotes bijaknya, tiba-tiba bisa menjadi melankolis dan penuh keraguan di akun keduanya, curhat soal gagal move on dari mantan yang sudah punya lima anak. Kolega yang selalu formal dan profesional dengan bahasa baku di akun utama, ternyata punya selera humor yang absurd dan seringkali mengunggah meme-meme receh tentang kucing yang bertingkah aneh. Ini seperti menemukan pintu rahasia ke dalam kepribadian seseorang yang selama ini tersembunyi di balik tembok citra yang kokoh.
Namun, "second account" juga menyimpan potensi masalah, layaknya pisau bermata dua. Batasan antara kejujuran dan kebebasan berekspresi bisa menjadi kabur. Tidak jarang, akun kedua digunakan untuk menyebarkan gosip yang belum tentu benar, mengkritik orang lain secara anonim dengan kata-kata pedas, atau bahkan melakukan cyberbullying yang bisa merusak kesehatan mental seseorang. Dunia paralel ini, yang seharusnya menjadi ruang aman, justru bisa menjadi tempat yang penuh racun dan drama yang tidak perlu.
Jadi, fenomena "second account" adalah cerminan dari kompleksitas identitas kita di era digital. Kita memiliki berbagai macam peran yang kita mainkan, dan media sosial menyediakan panggung-panggung yang berbeda untuk setiap peran tersebut. Akun utama adalah panggung utama dengan sorotan lampu yang terang, tempat kita berusaha menampilkan performa terbaik. Sementara akun kedua adalah ruang belakang panggung tempat kita bisa beristirahat, berganti kostum, menjadi diri sendiri (atau mungkin memainkan peran yang lain lagi yang lebih "liar").
Maka dari itu, mari kita bertanya pada diri sendiri: di antara dua dunia digital yang kita ciptakan ini, manakah yang sebenarnya adalah "kita"? Apakah kita adalah sosok sempurna yang kita tampilkan di akun utama, ataukah kita adalah kumpulan random thoughts dan keluhan di akun kedua? Mungkin jawabannya terletak di antara keduanya, sebuah paradoks identitas di era serba digital ini. Yang jelas, fenomena "second account" adalah pengingat bahwa di balik setiap profil media sosial yang terlihat sempurna, selalu ada sisi lain yang mungkin lebih jujur, lebih rentan, dan jauh lebih... manusiawi. Jadi, lain kali saat Anda menemukan akun kedua teman Anda, jangan langsung menghakimi. Siapa tahu, di sanalah mereka akhirnya bisa bernapas lega dari tekanan dunia maya yang serba palsu ini.
Komentar
Posting Komentar