Makassar Lebih Mengenal Bunyi Klakson daripada Kokok Ayam: Sebuah Ironi Pembangunan
Di kota daeng yang katanya ewako ini, ada sebuah orkestra yang sayangnya kurang sedap didengar: orkestra klakson kendaraan. Alih-alih suara merdu suling bambu atau gendang rebana yang menenangkan, telinga kita justru lebih akrab dengan bunyi "tiiiiiinnn!!!" yang memekakkan, bahkan sebelum lampu lalu lintas benar-benar berubah menjadi hijau. Sebuah ironi pembangunan yang mungkin hanya bisa dipahami oleh mereka yang sehari-hari berjibaku dengan kerasnya jalanan Makassar.
Coba bayangkan, sebuah skenario yang mungkin sudah menjadi makanan sehari-hari. Lampu merah baru saja berganti menjadi hijau. Belum genap satu detik berlalu, bahkan mungkin roda kendaraan di barisan paling depan belum sempat berputar sempurna, suara klakson dari belakang sudah meraung-raung tak sabar. Seolah-olah, keterlambatan sepersekian detik itu adalah sebuah dosa besar yang tak terampuni. Di mana kesantunan berkendara? Di mana filosofi "pelan tapi pasti"? Mungkin sudah tergerus oleh semangat "cepat sampai biar bisa cepat makan coto tawwa".
Ironi Pertama: Kota Maritim yang Lebih Bising daripada Pelabuhan di Jam Sibuk. Makassar, dengan segala pesona pantai Losarinya dan kulinernya yang menggoda, sayangnya juga menyimpan "kekayaan" suara klakson yang luar biasa. Ironisnya, kota yang dulunya dikenal dengan angin lautnya yang sepoi-sepoi kini lebih akrab dengan raungan klakson yang memburu-buru. Seolah-olah, setiap pengendara sedang mengejar diskon terakhir di mal atau takut ketinggalan live TikTok influencer kesayangan.
Ironi Kedua: Pembangunan Fisik yang Megah, Pembangunan Mental yang Tertinggal. Gedung-gedung pencakar langit terus bermunculan, jalan layang membentang membelah kota, infrastruktur semakin modern. Namun, seiring dengan kemajuan fisik ini, tampaknya ada yang tertinggal: kesadaran kolektif dan kesabaran dalam berlalu lintas. Klakson yang seharusnya menjadi alat komunikasi darurat, kini menjelma menjadi "bahasa sehari-hari" yang penuh dengan ketidaksabaran dan egoisme.
Ironi Ketiga: Lebih Mengenal Bunyi Klakson daripada Kokok Ayam. Bagi sebagian besar anak muda Makassar yang tumbuh di tengah beton dan aspal, suara kokok ayam mungkin hanya mereka dengar dari video di YouTube atau saat mudik ke kampung halaman. Mereka lebih familiar dengan bunyi "tiiiinnn!!!" yang agresif daripada "kukuruyuk" yang menandakan pagi yang damai. Sebuah ironi yang menyedihkan, bukan? Keterputusan dari alam dan tradisi tergantikan oleh kebisingan modern yang justru meresahkan.
Mengapa Klakson di Makassar Lebih "Ewako" daripada Pengendaranya? Mungkin ada semacam unspoken rule di jalanan Makassar bahwa semakin sering membunyikan klakson, semakin menunjukkan eksistensi dan "kekuatan". Seolah-olah, dengan menekan tombol itu, seseorang merasa lebih berhak untuk didahulukan dan diutamakan. Padahal, yang terjadi justru sebaliknya: polusi suara yang mengganggu dan potensi konflik antar pengendara semakin meningkat.
Harapan di Tengah Bisingnya Klakson. Tentu saja, tidak semua pengendara di Makassar seperti itu. Masih ada segelintir orang yang sabar, santun, dan memahami arti kebersamaan di jalan raya. Namun, fenomena "belum hijau sudah bunyi" ini adalah sebuah ironi yang perlu kita renungkan bersama. Pembangunan kota seharusnya juga diiringi dengan pembangunan karakter masyarakatnya. Semoga suatu hari nanti, jalanan Makassar bisa lebih "teduh" dan suara kokok ayam kembali menjadi pengingat waktu yang lebih menenangkan daripada raungan klakson yang penuh amarah. Kalau tidak, mungkin kita semua akan berjodoh dengan suara "tiiiinnn!!!" sampai akhir hayat. Ewako!
Komentar
Posting Komentar